Rabu, 18 Juni 2014

Dasar Falsafah Bank Syariah

TUGAS KELOMPOK DASAR FALSAFAH BANK SYARI’AH Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Bank Syariah 1 Dosen Pengampu: Drs. A. Husni, M. S. Sos. I Disusun oleh: Kelompok 3 Ayi Solehudin (1287264) Endang Sulis Setiawati (1287704) Nur Fitriana (1288794) Jurusan Syari’ah Ekonomi Islam (EI)/ IV Kelas: G SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JURAI SIWO METRO TA 2013/2014 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr.Wb. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah yang berjudul “ Dasar Falsafah Bank Syari’ah “. Makalah yang menjelaskan secara terperinci dan sumber-sumber yang jelas. kami mengucapkan terima kasih kepada Drs. A. Husni, M. S. Sos. I ,yang telah memberikan tugas dan tanggung jawab ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan waktu yang tepat. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritikan serta bimbingan yang dapat membangun guna menyempurnakan makalah ini. Semoga dengan makalah ini dapat membangun dan mengetahui peranan penting Bank Syari’ah. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Metro, 14 april 2014 Penyusun   DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang Masalah 1 1.2 Rumusan Masalah 1 1.3 Tujuan Pembahasan 1 BAB II PEMBAHASAN 2 2.1 Dasar Falsafah Bank Syari’ah 2 2.2 Perbedaan Sistem Bunga Dan Bagi Hasil 4 2.2 Dasar Hukum Bank Syari’ah 8 BAB III PENUTUP 12 3.1 Kesimpulan 12 DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belakangan ini bank Syari’ah menjadi incaran bagi pelaku bisnis perbankan. Bank Islam telah berkembang pesat pada dekade terakhir serta telah menjadi satu tren yang sangat penting dalam dunia keuangan. Hal ini terjadi, karena dari sisi ekonomi keberadaan Bank Syari’ah ini memberikan nilai lebih dibandingkan dengan bank konvensional. Dimana sekarang produk bank syari’ah mengakomodasi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang dari keinginan konsumen. Bank Syari’ah didasarkan pada prinsip hukum Islam . Sistem bank syari’ah menawarkan fungsi dan jasa yang sama dengan bank konvensional meskipun diikat dengan prinsip-prinsip Islam. Sistem operasi dari bank syari’ah berdasarkan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian. Bank Syari’ah tidak menggunakan bunga untuk dana yang ditawarkan ke konsumen tetapi memperkirakan pertambahan dana yang akan datang, yang merupakan hasil dari penggunaan dana tersebut. Sehubung yang telah dijelaskan sedikit tentang bank syari’ah, maka makalah ini akan lebih menjelaskan tentang dasar falsafah bank syari’ah serta menjelaskan perbedaan sistem bunga dan bagi hasil sesuai berdasarkan hukum bank syari’ah. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana Dasar Falsafah Bank Syari’ah ? 2. Apa yang membedakan antara Sistem Bunga dengan sistem Bagi Hasil ? 3. Bagaimana Dasar Hukum Bank Syariah di Indonesia ? 1.3 Tujuan Masalah 1. Mengetahui Dasar Falsafah Bank Syari’ah. 2. Memahami perbedaan antara Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil. 3. Mengetahui Dasar Hukum Bank Syariah. BAB II PEMBAHASAN 2.1 Dasar Falsafah Bank Syari’ah Islam memandang bahwa bumi dan segala isinya merupakan “Amanah dari Allah kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini, untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang suci ini, Allah tidak meninggalkan manusia sendirian tetapi diberikan petunjuk melalui para Rasulnya. Dalam petunjuk ini Allah memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, baik aqidah, akhlak , maupun syari’ah. Dua komponen yang pertama (aqidah dan akhlak) sifat konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Adapun komponen syari’ah senantisa diubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat, dimana seseorang Rasul diutus. Seperti disabdakan oleh Rasulullah, bahwa : “ Saya dan rasul-rasul yang lain tak diubahnya bagaikan saudara sepupu, syari’at mereka banyak tetapi agama (aqidah)nya satu (yaitu mentauhidkan allah)”. Melihat kenyataan ini syari’ah islam sebagai suatu syari’at yang dibawa Rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri, ia bukan saja komprehensif tetapi juga universal. Sifat-sifat istimewa ini mutlak diperlukan sebab tidak akan ada syari’at lain yang datang untuk menyempurnakannya. Komprehensif, yang berarti ia merangkum seluruh aspek kehidupan baik ritual maupun sosial (ibadah maupun muamalah). Ibadah diperlukan dengan tujuan untuk menjaga ketaatan, dan harmonisnya hubungan manusia dengan khaliqnya, serta untuk meningkatkan secara kontinu tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ketentuan-ketentuan muamalah diturunkan untuk menjadi rule of game dalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Universal, bermakna ia dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir nanti. Keuniversalan ini akan tampak jelas sekali terutama dalam bidang muamalah, dimana ia bukan hanya saja luas dan fleksibel bahkan tidak memberikan spesial treatmen bagi muslim yang membedakannya dari non muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, yang artinya: dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka dalah hak kita. Sifat external muamalah ini memungkinkan karena adanya apa yang dinamakan prinsip dan variable dalam islam. Kalau di ambil contoh sektor ekonomi sebagai suatu prinsip, dapat dicontohkan dengan ketentuan-ketentuan dassar ekonomi seperti: larangan riba, adanya prinsip bagi hasil, prinsip pengambilan keuntungan, pengenaan zakat. Variabel merupakan instrumen-instrumen untuk melaksanakan prinsip-prinsip sperti: mudharabah, murabahah, dan sebagainya. Disinilah letak tugas para cendekiawan muslim sepanjang zaman untuk mengembangkan teknik penerapan prinsip-prinsip dalam variable-variabel sesuai dengan sitasi dan kondisi semata. Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang tuntutan agama islam, harus dihindari. 1. Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya: a. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha. b. Menghindari penggunaan system presntasi untuk pembeban biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis hutang tersebut hanya karena berjalannya waktu. 2. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan Dengan mengacu pada Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang atau jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang atau jasa, mendorong kelancaran arus barang atau jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit dan sebagainya. 2.2 Perbedaan Sistem Bunga Dan Bagi Hasil Berdasarkan kerangka falsafah bank syari’ah diatas, maka hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non syari’ah dan syari’ah adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Oleh karena itu muncullah istilah bunga dan bagi hasil. Persolan bunga bank yang disebut sebagai riba telah menjadi bahan perdebatan dikalangan pemikir dan fikih islam. Tampaknya kondisi ini tidak pernah berhenti sampai disini, namun akan terus diperbincangkan dari masa kemasa. Untuk mengatasi persoalan tersebut umat islam telah mengembangkan paradigma perekonomian dalam perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan umat pada bank-bank syari’ah yang beroprasi tidak mendasarkan pada bunga, melainkan dengan sistem bagi hasil. Sebagai alternatif sistem bunga dalam konvensional, ekonomi islam menawarkan sistem bagi hasil dimana ketika pemilik modal bekerja sama dengan pengusaha untuk melakukan suatu usaha Dalam perekonomian konvensional, sistem riba dalam perbankan dan pembolehan spekulasi menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang disektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa resiko. Akibatnya uang atau investasi yang seharusnya tersalur ke rektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan penyusutan sektor riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang menjadi tujuan akan terhambat. Berikut perbedaan antara sistem bunga dengan sistem bagi hasil yang diterapkan dalam sistem perbankan islam. Hal Sistim Bunga Sistem Bagi Hasil Penentuan besarnya hasil Sebelumnya Sesudah berusaha, sesudah ada untungnya Yang ditentukan sebelumnya Bunga, besarnya nilai rupiah Menyepakati proporsi pembagian untung untuk masing-masing pihak, misalnya 50:50 dan seterusnya. Jika terjadi kerugian Di tanggung nasabah saja Ditanggung kedua pihak Nasabah dan lembaga Dihitung darimana? Dari dana yang dipinjamkan, fix, tetap Dari untung yang diperoleh, belum tentu besarnya Titik perhatian proyek/usaha Basarnya bunga yang harus dibayar nasabah/pasti diterima bank Keberhasilan proyek/ usaha jadi perhatian bersama: Nasabah dan lembaga Berapa besarnya ? Pasti: (%) kali jumlah pinjaman yang telah pasti diketahui Proporsi (%) kali jumlah untung yang belum diketahui=belum diketahui Status Hukum Berlawan dengan QS. Luqman : 34 Melaksanakan QS. Lukman: 34 Bagi hasil adalah return (perolehan aktivitas usaha) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap pada bank syari’ah. Besar kecilnya perolehan kembali itu tergantung pada hasil usaha yang benar-benar diperoleh oleh bank syariah. Dalam sistem perbankan islam bagi hasil merupakan suatu mekanisme dilakukan oleh bank syari’ah (mudharib) dalam upaya memperoleh hasil dan membagikannya kembali kepada pemilik dana (shahibul mal) sesuai kontrak disepakati bersma pada awal kontrak (akad) antara nasabah dengan bank syari’ah. Dimana besarnya penentuan porsi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (At-Tarodhin oleh masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan. Adapun pendapatan yang dibagikan antara mudharib dan shahibul mal adalah pendapatan yang sebenarnya telah diterima, sedangkan pendapatan yang masih dalam pengakuan tidak dibenarkan untuk dibagi antara kedua belah pihak. Dalam hukum islam penerapan bagi hasil harus memperhatikan prinsip At-Ta awun yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam al-qur’an: “ dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Serta menghindari prinsip menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (tidak digunakan untuk transaksi) sehingga tidak bermanfaat bagi masyarakat umum. Untuk memahami penerapan skim bagi hasil pada oprasional bank islam terlebih dahulu memperhatikan sebagai berikut:  Pendapatan akan dibagikan Dari sekian banyak pendapatan diterima oleh bank syari’ah, maka hanya pendapatan diperoleh secara langsung dari hasil pengelolaan dana menggunakan skim bagi hasil saja yang dapat dibagi hasilkan kembali, sedangkan pendapatan fee atas jasa bukan merupakan hasil pengelolaan sehingga tidak dibagi hasilkan (merupakan hak bank ). Jadi, pengertian sumber pendapatan yang dapat dibagi hasilkan disini, adalah: a. Penerimaan dari margin pembiayaan dari bagi hasil pembiayaan b. Pendapatan dari investasi pada surat berharga atau penempatan dari bank syari’ah lain. Disamping itu, sesuai dengan fatwa tentang pengakuan accrual basis maka pendapatan yang diperoleh dengan metode accrual harus dikeluarkan dari pendapatan yang akan dibagi, artinya hanya pendapatan yang benar-benar telah diterima saja yang boleh dibagikan kepada pemilik dana.    Bentuk Pengungkapan Bagi Hasil Adapun tatacara distribusi bagi hasil yang perlu diungkapkan dan disampaikan kepada nasabah antara lain: a. Metode digunakan Bank, sebagi dasar penentuan bagian keuntungan atau kerugian dari dana Mudharabah tersebut. b. Tingkat pengembalian dana mudharabah c. Tingkat nisbah keuntungan yang telah disepakati dari setiap dana investasi.  Faktor yang mempengaruhi Perhitungan Bagi Hasil Didalam laporan keuangan bank syari’ah terdapat beberapa pos perkiraan yang menjadi atau mempengaruhi unsure perhitungan bagi hasil, yaitu sebagai berikut: a. Pendapatan margin dan pendapatan bagi hasil, dihutung berdasarkan perolehan pendapatan pada bulan berjalan. b. Saldo dana pihak ketiga, yang dihitung dengan saldo rata-rata harian bulan perhitungan. c. Pembiayaan, yang dihitung berdasarkan saldo rata-rata harian bulan bersangkutan. Ada pula pendapat bahwa yang diambil adalah saldo rata-rata harian bulan sebelumnya, dengan alasan karena yang mempengaruhi pendapatan bulan berjalan adalah pembiayaan bulan sebelumnya, sedangkan pembiayaan bulan berjalan baru akan memperoleh pendapatan pada bulan berikutnya. d. Investasi pada surat berharga/ penempatan pada bank Islam lain. e. Penentuan kapan bagi hasil efektif dibagikan kepada para pemilik dana, apakah mingguan, pada akhir bulan, pada tanggal valuta, pada tanggal jatuh tempo, pada akhir tahun , dan lain-lain. f. Penggunaan bobot dalam menghitung besarnya dana pihak ketiga.   2.3 Dasar Hukum Bank Syariah Bank Syariah secara yuridis normative dan yuridis empiris diakui keberadaannya di negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normative tercatat dalam peraturan perundang-undangan diindonesia, diantaranya, Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, Undang-undang No. 10 tentang perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1998 tentang perbankan, Undang-undang no.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No.7 1989 Tentang peradilan Agama . Selain itu pengakuan secara yuridis dimaksud, memberi peluang tumbuh berkembang secara luas untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Bank Syari’ah di Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasan penentuan tingkat bunga, termasuk nol persen. Kemudian posisi perbankan syari’ah semakin pasti karna disahkannya UU perbankan No.7 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan bagi hasil. UU No. 10 tahun 1998 menghapus pasal pada PP no. 72/1992 yang melarang dual sistem. Dengan tegas pasal 6 UU No.10 tahun 1998 membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syari’ah melalui: a. Pendirian kantor cabang atau bawah kantor cabang baru b. Pengubahan kantor cabang atau dibawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah Sungguh pun demikian bank syari’ah yang berada ditanah air tetap harus tunduk kepada peraturan-peraturan dan persyaratan perbankan yang berlaku pada umum nya antara lain: a) Ketentuan perizinan dalam pengembangan usaha, seperti pembukaan cabang dan kegiatan devisa. b) Kewajiban pelaporan ke Bank Indonesia c) Pengawasan Internal d) Pengawasan atas prestasi, permodalan, Manajemen dan factor lainnya e) Pengenaan sanksi atas pelanggaran Disamping ketentuan-ketentuan diatas Bank Syari’ah di indonesia juga dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan Dewan Pengawas Syari’ah. Hal yang terakhir ini memberikan implikasi bahwa setiap produk Bank syari’ah mendapatkan persetujuan dari dewan pengawas Syari’ah terlebih dahulu sebelum diperkenalkan kepada masyarakat. Beberapa revisi pasal yang dianggap penting, dan merupakan aturan hukum yang secara leluasa bank dapat menggunakan istilah syari’ah adalah: 1. Pasal 1 ayat 12 menyatakan” Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”. 2. Pasal 1 ayat 13 berbunyi:” Prinsip Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain. Untuk menjalankan Undang-Undang tersebut selanjutnya dikeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat Tahun 1999 dilengkapi Bank Umum Berdasarkan prinsip Syari’ah dan Bank Perkreditan Rakyat berdasrkan Prinsip Syari’ah. Aturan yang berkaitan dengan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari’ah diatur dalam Surat Keputusan Bank Indonesia No. 32/34/KE/DIR tgl. 12 Mei 1999, yaitu: 1. Pasal 1 huruf a menyatakan: “ Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 Tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melakukan usaha berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah. 2. Pasal 1 huruf g menyatakan:” Kegiatan Usaha berdasarkan prinsip Syari’ah adalah kegiatan usaha perbankan yang dilakukan berdasarkan prinsip syari’ah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. 3. Pasal 29 menyatakan: “ Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Bank dapat pula: a. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya. b. Bank dapat bertindak seperti baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq shadaqah, waqaf, hibah atau dana social dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam santunan dan pinjaman kebajikan. Dasar-dasar hukum positif inilah yang dijadikan pijakan bagi bank syari’ah di Indonesia dalam mengembangkan produk-produk dan oprasionalnya. Berdasarkan hukum positif tersebut, bank islam atau syari’ah memiliki keleluasaan dalam mengembangkan produk dan aktivitas oprasionalnya. Oprasional bank syari’ah di Indonesia dijalankan berdasarkan Undang-Undang, Dan surat direksi Bank Indonesia tentang pengkreditan Syari’ah berdasarkan Prinsip Syari’ah. Apabila mengamati dunia perbankan saat ini, bukan hanya Bank Muamalah sebagai perbankan yang menerapkan prinsip syari’ah, melainkan bank-bank pemerintah atau bank swasta pun telah menyiapkan satu bagian atau satu unit tersendiri untuk melayani keinginan warga masyarakat untuk menjadi nasabahnya dengan sistem syari’ah. Hal ini disadari oleh keinginanan warga masyarakat yang ingin mengunakan jasa bank pemerintah atau swasta tetapi tidak menginginkan terlibat dalam penerapan sistem bunga. Berdasarkan hal diatas , ada produk keuangan yang halal dan tidak halal atau yang “rawan” unsur-unsur yang tidak halal. Perbankan misalnya, ada yang halal dan ada sangat kental dengan unsur bunga yang bisa dikategorikan sebagai riba. Belum lagi dengan asuransi. Sudah banyak dipahami oleh warga masyarakat Indonesia bahwa asuransi sering diasosiasikan dengan judi dengan ketidakjelasan. Namun, bila diteliti kembali ternyata asuransi juga tidak terlepas dari praktik riba karena memiliki investasi yang berbunga. Oleh karena itu, warga masyarakat islam yang tahu dan pahan tentang ajaran agamanya akan memanfaatkan produk keuangan yang sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, yaitu produk keuangan yang tidak menggunakan sistem riba dalam berbagai produk lembaga keuangan.   BABIII PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Setiap lembaga keuangan memiliki dasar falsafah guna mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebaikan didunia maupun diakhirat. Lembaga keuangan bank syariah juga memiliki fungsi-fungsi dan tujuan yang sangat baik dalam kalangan masyarakat untuk tetap menegakkan berdasarkan syari’at agama islam dan Dua komponen yang tidak dapat ditinggalkan dalam menjalankan bisnis yang pertama (aqidah dan akhlak) yang bersifat konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Bank Syari’ah dijalankan untuk menegakkan tidak adanya riba dalam perolehan keuntungan, namun Bank syariah lebih meningkatkan sistem bagi hasil yang diperoleh dari kesepakatan kerjasama. Dan berdasarkan sumber hukum perundang-undangan secara yuridis empiris dan yuridis normative yang tertera pada Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1992.   DAFTAR PUSTAKA Ali Zainuddin, 2008, Hukum Perbankan Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika. Arifin Arviyan dan Rivai Veithzal, 2010, Islamic Banking, Jakarta: Bumi Aksara. Ascarya, 2011, Akad Dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hasan Ali, 2009, Manajemen Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasan Zuhairi,2009, Undang-Undang Perbankan Syari’ah, Jakarta: Rajawali Pers. Jundiani, 2009, Pengaturan Hukum Perbankan Syari’ah di Indonesia, Malang: UIN- Malang Pres. Karim Adiwarman, 2010, Bank Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Lubis K. Suhrawardi, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika. Muhammad, 2002, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Machmud Amir, 2010, Bank Syari’ah, Jakarta: Erlangga.

0 komentar:

Posting Komentar